Selasa, 25 Maret 2008

Aktor, Mobilitas dan Faktor Pendorong Pembalakan Liar


Perputaran ekonomi desa-desa pebalok secara otomatis akan hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang yang punya kekuatan modal. Dengan uangnya tersebut akhirnya para toke menguatkan pengaruhnya melalui mekanisme yang berimplikasi kepada hubungan-hubungan sosial yang dibangun untuk menguasai pihak-pihak yang secara ekonomi lemah. Salah satunya dengan berperan sebagai patron-patron untuk mengikat para klien secara ekonomi. Implikasi dari ketergantungan itu adalah hutang budi para klien (pebalok) terhadap patron-patron tersebut. Dengan menguasai hajat hidup para klien secara tidak langsung kehidupan sosialpun ditentukan atas kepentingan para patron yang memunculkan sikap-sikap hormat, segan, dan mengamini setiap nasihat dan perintah yang menjadi petronnya (toke). Munculnya toke dan elit desa memicu gerakan masyarakat desa untuk melakukan pembalakan liar.

Pengaruh ekonomi dan sosial yang terpusat pada segelintir toke itu diperkuat oleh status tingkat religiusitas melalui gelar-gelar haji yang disandang para toke di desa. Bertambahnya unsur penguat tersebut berimplikasi tak ada cacat dan tak ada alasan untuk tidak membenarkan setiap pendapat dan perintah para toke. Munculah ke permukaan dan kecenderungan bahwa toke-toke kayu otomatis juga merupakan tokoh masyarakat. Dia menguasai kebijakan desa, menguasai dan dapat mengendalikan aparat pemerintahan desa, dan kalau perlu mereka sanggup merekayasa adat lokal untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya. Kasus didendanya Tim Tata Batas – Biphut Jambi di salah satu desa di Kecamatan Muara Sebo Ulu - Batanghari, dengan satu kerbau dengan alasan tanpa ijin memasuki wilayah desa tersebut, merupakan bukti bahwa kepentingan toke terancam bila batas ditetapkan dan untuk itu adat lokal dipakai untuk menyamarkan kepentingan tersebut.

Tidak saja toke di desa, tetapi masyarakat desa disekitar kawasan hutan, menjadi aktor paling besar perannya dalam kerusakan hutan di seluruh Propinsi Jambi. Begitu juga dengan toke besar yang notabene adalah muara terakhir di desa dalam kegiatan pembalakan kayu. Berikut beberapa aktor yang terlibat dan sangat bertanggungjawab atas musnahnya hutan di Propinsi Jambi, diantaranya :
1) Masyarakat desa, khususnya melakukan pembalakan liar. Masyarakat desa pada umumnya terlibat dalam kegiatan survei, penebangan, dan perakitan. Masyarakat desa yang terlibat dalam kegiatan pembalakan liar ini mulai dari warga biasa yang hanya bekeraja sebagai buruh/pekerja kasar.
2) Para pejabat desa, seperti kepala desa besarta stafnya, anggota BPD sampai pada tokoh masyarakat. Pejabat desa ini akan ikut memanfaatkan hasil kayu ini dalam bentuk Peraturan Desa yang mengatur tentang salah satu sumber anggaran desa berasal dari hasil kayu, dimana setiap 1 potong kayu seharga Rp. 10.000. Semacam legitimasi yang dikeluarkan oleh desa untuk kegiatan pembalakan liar tersebut.
3) Para cukong atau toke, pemilik modal yang membiayai aktivitas pembalakan liar dan yang memperoleh keuntungan besar dari hasil kayu curian. Para cukong/toke ini mulai dari yang kecil sampai pada golongan besar. Untuk toke kecil biasanya berada atau bertempat tinggal didesa atau desa tetangga, sedangkan untuk toke golongan besar biasanya berasal dari Jambi yang memiliki pabrik pengolahan kayu.
4) Pemilik pabrik pengolahan kayu/sawmill sebagai pembeli kayu illegal, sebagian lagi ada juga pemilik sawmill yang menjadi dalang atau toke yang memberi modal dalam aktifitas pembalakan liar. Biasanya para pemilik sawmill mempunyai staff (tangan kanan) yang berasal dari desa.
5) Instansi Pemerintah (khususnya dari Dinas Kehutanan), biasanya pegawai ini terlibat dalam hal memanipulasi pengeluaran dokumen surat angkutan kayu bulat. Tidak saja pegawai rendahan tetapi juga melibatkan Kepala Dinas Kehutanan.

MOBILISASI PEMBALAKAN LIAR
Berbagai akses digunakan dalam mengeluarkan hasil pembalakan liar, diantaranya :
1. Sungai.

Pembalakan liar di Kabupaten Batanghari memanfatkan sungai Serengam yang bermuara di Sungai Tembesi di desa Hajran, lokasi pengambilan berasal dari Sungai Terap, sungai Dangku, sungai Sako Lado dan sungai Bangkai Anjing. Transaksi jual beli berlangsung di Muara sungai Serengam yaitu di desa Hajran. Pembeli selanjutnya mengangkut kayunya dengan memanfaatkan sungai Tembesi atau Tabir yang ditarik dengan pompong menuju Jambi. Untuk bagian utara Kabupaten Batanghari, melalui sungai Kejasung Kecil, sungai Kejasung Besar, sungai Tabir selanjutnya menuju sungai Batanghari menuju Jambi.
2. Jalan darat melalui beberapa alternatif.

Pembalakan liar di wilayah Kabupaten Batanghari juga dilakukan melalui beberapa alternatif, melalui : 1) jalan loging PT. Sawit Desa Makmur. Kegiatan bebalok dilakukan pada musim kemarau yang keluar di desa Hajran. Bisa juga melalui jalan logging eks. PT. Alas Kusuma dan Perkebunan PT. Era Mitra Agro Lestari menuju desa Dusun Baru Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun. Alternatif lain melalui jalan loging PT. Wana Jaya yang berlokasi di sungai Dangku Kecil yang keluar di Sungai Tembesi di desa Olak Besar. Sementara wilayah Kabupetan Tebo, melalui daerah hulu yaitu jalan Haji Gani, mudik sampai ladang Musi di Bernai. Bagian tengah melalui jalan haji Gani, mudik sampai sedodo Benyok. Bagian hilir melalui jalan Sutarjo mudik sampai B. Lambon Pupung dan jalan darat dari desa Tanah Garo.

FAKTOR – FAKTOR PENDORONG KEGIATAN PEMBALAKAN LIAR
Berdasarkan hasil wawancara, investigasi dan analisa dilapangan terdapat beberapa faktor pendorong dari masyarakat untuk melakukan kegiatan pembalakan liar, yiatu :
1. Faktor Ekonomi, yaitu :
a. Kegiatan pembalakan liar sangat cepat menghasilkan uang dan jumlahnya cukup besar jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Padahal berdasarkan analisa bahwa pendapatan yang diterima justru jauh lebih kecil dari apa yang telah diperoleh. Kemudahan yang diperoleh adalah mendapatkan uang kontan sebelum bekerja, karena pebalok mendapatkan suntikan modal dari toke. Dan selama pebalok bekerja, keluarga yang ditinggalkan di desa juga mendapatkan meminjam dari toke yang keseluruhannya merupakan hutang yang nantinya langsung dipotong saat penghitungan hasil dari kegiatan tersebut.
2. Faktor Sosial, yaitu :
a. Keterikatan emosional sebagian warga terhadap hutan, diwujudkan dengan keikutsertaan mereka melakukan illegal loging. Dengan suatu harapan dapat menikmati hasil kayu sebelum terlanjur semuanya habis
b. Karena sering terjadinya interaksi antara satu masyarakat dengan yang lain (makhluk sosial), maka akan termotivasi bagi kelompok lain untuk melakukan kegiatan pembalakan liar.
c. Adanya kecemburuan sosial terhadap salah satu keluarga yang mendapatkan uang banyak dari hasil bebalok
d. Karena pekerjaan dilakukan secara bersama-sama dan berkelompok, maka walaupun pekerjaan secara fisik membutuhkan tenaga yang kuat akan menjadi ringan.
e. Tingginya rasa kebersamaan dan kekompakan antara satu kelompok.
f. Akan terjadi interaksi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga suasana akan menjadi ramai walaupun dalam hutan.
3. Faktor hukum
a. Lemahnya penegakan hukum oleh aparat/instansi terkait
b. Kerlibatan dari pihak atau instansi terkait dalam kegiatan pembalakan liar, seperti adanya pemalsuan surat dokumen pengangkutan kayu dari Dinas Kehutanan
c. Adanya semacam legitimasi atau dukungan dari pemerintahan desa, dalam bentuk Peraturan Desa

Senin, 24 Maret 2008

Kota Jambi : antara Ingatan dan Ilusi Identitas (Aditya Dipta Anindita dan Dodi Rokhdian)*


* mereka ini temenku yang merupakan warga pendatang dan pemerhati kota (Thank kontribusi tulisannya, biar orang djambi juga tau dan nyadar kalau ....!).

Sebelum keberangkatan kami ke kota Jambi sekitar setahun lalu, ada cerita dari seorang kerabat yang pernah tinggal di kota ini belasan tahun yang lalu. Katanya, Jambi adalah kota terbersih yang pernah dilihatnya. Tinggal kami, untuk membuktikan cerita itu.

Kurang lebih setahun ini, kami mulai mengenali kota Jambi; lika-liku lorong dan simpangnya, musik keras di angkot yang meninggalkan debaran di jantung, pemandangan ribuan burung gereja di atas pasar saat senja juga mungkin kotoran mereka yang jatuh tiba-tiba di dekat kita. Tak ketinggalan jagung bakar dan es tebu di tepi Batang Hari yang lebih terkenal dengan sebutan Ancol, memandang lepas ke arah perahu-perahu dan matahari yang perlahan turun. Romantis, asal tidak mengalihkan pandangan ke bawah, ke tepiah-tepian sungai yang penuh sampah.

Pengalaman dengan sampah bukan hanya di Ancol saja. Turun dari angkot di terminal pasar, lalu berjalan kaki menuju toko buku Gloria, Saimen, Mandala, Tropi, Matahari sampai kembali lagi menunggu angkot di dekat Abadi, paling tidak lima kali kami harus melewati tumpukan sampah, mengambil jarak agar tidak terganggu oleh bau busuk yang dikeluarkannya. Pemandangan pun terganggu. Inikah kota Jambi yang pernah dikenal orang sebagai kota terbersih?

Tiba-tiba terlintas slogan “Jambi Kota Beradat”. Kata ‘beradat’ sendiri bisa dimaknai sebagai memiliki, memegang, atau menjalankan adat. Adat sendiri dalam bahasa Indonesia secara harifiah diartikan sebagai aturan yang telah dilakukan sejak lama, kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai dan berkaitan menjadi satu sistem. Kata ‘adat’ sepertinya memang sering didengungkan di kota ini, terutama dalam seloka Adat bersendi syara, syara bersendi Kitabullah. Betapa damai terasa gambaran kota yang ditawarkan dalam seloka ini. Belum lagi jika kita memahami slogan “Jambi Kota Beradat” sebagai penjabaran dari Jambi kota yang bersih, aman dan tertib. Slogan ini mengisyaratkan bahwa ada upaya perwujudan kota Jambi yang bersih, aman dan tertib. Lalu, dimana harus ditempatkan pengalaman dan pemandangan sampah di Ancol atau pasar dalam slogan kota Jambi yang senantiasa didengungkan itu? Ini belum tentang keamanan dan ketertiban kota ini.

Ada dua hal yang membedakan masing-masing kota, yakni kota dalam tatanan geografis serta kota dalam ingatan dan pengalaman warganya. Tataran pertama menggambarkan kota sebagaimana dalam peta yang menunjukkan batas-batas wilayah serta patokan-patokan fisik seperti bandara, pasar, sungai atau taman PKK. Sementara tataran kedua menggambarkan kota sebagaimana yang dialami oleh warganya seperti aroma jagung bakar di ancol atau bau busuk tumpukan sampah di pasar Angso Duo. Ingatan-ingatan berdasar pengalaman berulang inilah yang sesungguhnya akan terekam sebagai gambaran atau citra atas kota tempat tinggal seseorang.

Ingatan Bersama vs Ilusi Kota
Bisa dibayangkan bila dalam pikiran bawah sadar sesungguhnya kita dipaksa untuk memahami dua pengertian yang berbeda tentang sebuah kota bernama Jambi ini. Pengalaman atas sampah, misalnya, segera berhadapan dengan ingatan atas slogan “Jambi Kota Beradat”. Mana yang nyata?

Michelle de Certeau, pemikir kota aliran Prancis, menyebutkan bahwa pengalaman-pengalaman atas kota yang paling mendasar sesungguhnya adalah milik para pejalan kaki. Merekalah yang setiap harinya membuat cerita atas kota tanpa bisa membacanya. Dan ketika pengalaman-pengalaman dengan sampah tadi berhadapan dengan pemahaman kebersihan kota dalam slogan, akhirnya slogan itu sendiri menjadi seperti ilusi. Antara ada dan tiada. Bahwa sesungguhnya ada identitas yang tengah coba untuk ditanamkan, menyertai bahkan menafikan ingatan-ingatan atas kota yang sesungguhnya.

Manipulasi pembentukan citra kota bersih, aman, dan tertib melalui slogan dalam bahasa de Certeau diistilahkan sebagai strategi, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan terlebih dahulu pendapat yang berbeda, halangan, atau hambatan yang ada di lingkungan di mana kehendak (kuasa) satu kelompok dioperasikan. Tak hanya Jambi sebenarnya, tetapi inilah kenyataan yang dimiliki oleh nyaris setiap propinsi, kota dan kabupaten di tanah air ini. Mungkin kita sempat mencatat slogan-slogan pembangunan lain seperti Bungo Kota Lintas, Bulian Kota Berlian, Bangko Kota Beriman, atau Kerinci kota Sakti. Tapi coba tanyakan kebenarannya pada warga, terutama mereka yang setiap hari berjalan kaki menelusuri kotanya. Apakah memang demikian kota yang mereka punya?

Inilah cara pandang kota dari ketinggian, seperti, mungkin – maaf pak Gubernur – jika memandang tepian Batang Hari dari tebing atas, di area Gubernuran yang sudah pasti terjaga kebersihannya, aman dari gangguan serta tertata rapi. Kami belum pernah, tetapi sepertinya dari atas sana tidak terlihat sampah-sampah yang memenuhi tepian sungai, juga bau busuknya yang beradu dengan aroma jagung yang tengah dibakar. Dan kita, yang membutuhkan ruang-ruang rekreasi dalam kota, akhirnya yang harus berkompromi dengan suasana itu. Kita lantas harus menutup hidung atau memilih tempat yang agak jauh dari tumpukan sampah. Sisi pengalaman yang kontras ini, oleh de Certeau disebut dengan taktik, yakni sebuah tindakan penuh perhitungan yang dilakukan karena ketiadaan tempat-tempat yang layak. Pendeknya, taktik adalah siasat yang dipakai oleh orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.

Pemandangan dari atas akan selalu indah, juga teratur sebagaimana jika kita memandang kota dalam peta. Tapi dari atas pula tidak tercium bau sampah, tidak tampak trotoar yang berlubang, atau kumpulan pemuda yang kadang memaksa meminta uang. Kalau memang demikian, maka timbul pertanyaan: kepada siapa sesungguhnya kota yang bersih, aman dan tertib ini diperuntukkan?

Mempertanyakan Identitas Kota
Membicarakan citra kota akan membawa kita pada wacana identitas kota. Mengutip catatan seorang teman, bahwa identitas bukan sekedar nama atau uraian biografi tetapi juga rangkaian cerita yang membentuk citra dalam diri setiap manusia. Karena itulah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang layak untuk dipaksakan. Bagi sebuah kota, identitas menyimpan pengalaman-pengalaman warga serta proses tumbuh kembang kota sendiri. Misalnya dari bentuk bangunan lama bergaya kolonial, kita bisa menaksir kapan, siapa, dan bagaimana sejarah perkembangan kota. Lalu penamaan-penamaan warga sendiri, misalnya orientasi arah hulu dan hilir menunjukkan betapa sungai memiliki arti penting bagi penduduk sekitarnya. Bagaimana pal seven bisa dibaca sebagai Sipin, atau bagaimana simpang dan lorong menjadi penanda kota.

Inilah mengapa karakteristik sebuah kota tidak bisa digeneralisir dalam pola-pola sentralistik. Setiap kota memilik karakter masing-masing yang terbentuk dari pengalaman sehari-hari warganya. Dan kota, tidak bisa begitu saja direproduksi secara mekanis jika kita tidak ingin kehilangan ingatan-ingatan atas rentetan peristiwa proses tumbuh kembang kota, jika kita tidak ingin kehilangan identitas kota yang sesungguhnya.

Yang kami tidak pernah mengerti, mengapa harus ada sebutan Ancol untuk tepian Batang Hari, Monas untuk tugu yang dikelilingi empat ekor angsa di daerah Kota Baru, Taman Mini untuk area MTQ berupa rumah-rumah adat perwakilan tiap kabupaten, hingga ruas jalan menuju bandara yang diberi nama Soekarno-Hatta. Padahal, Jambi menyimpan mitos perjalanan dua ekor angsa yang kemudian dipercaya sebagai asal muasal kota ini, pantun dan seloka Melayu yang didongengkan oleh nini mamak, ribuan burung gereja di atas pasar saat senja, atau Batang Hari yang alirannya konon terpanjang di pulau Sumatera.
Inilah saatnya memandang kota melalui pemahaman baru, bahwa kota bukanlah mahkluk mati tak bergerak seperti peta. Kota tumbuh dan berkembang seiring dengan pengalaman-pengalaman warganya.

Menyelami kehidupan kota Jambi selama setahun ini, adalah tentang suasana angkutan kota dengan musik hingar bingar yang menghentak jantung penumpang hingga kami harus berteriak kencang kepada kernet jika ingin turun di tempat tujuan. Ingatan tentang Jambi bagi kami, keindahan ketika ribuan burung gereja bertengger di profil-profil bangunan dan di setiap bentangan kabel-kabel listrik saat langit senja merona jingga. Juga alunan musik biduk sayak yang keluar dari salah satu speaker penjual VCD bajakan kaki lima. Bagaimana dengan anda, pemilik kota Sepucuk Jambi Sembilan Lurah?

Jumat, 21 Maret 2008

MARAKNYA AKTIVITAS ILLEGAL LOGGING


Salah satu penyebab kerusakan hutan Jambi disebabkan oleh maraknya aktivitas pembalakan liar alias illegal logging. Aktifitas ini terjadi secara luas, sistematis, dan seperti tidak terjangkau oleh hukum yang berlaku. Analisis yang dilakukan Departemen Kehutanan pada tahun 2000 menyebutkan bahwa pembalakan liar dilakukan oleh suatu bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dan suatu jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam, dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum kehutanan.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa begitu banyak pihak terlibat dalam mata rantai aktifitas illegal ini, baik kalangan sipil sampai militer. Begitu meluasnya sehingga keterlibatan ini sangat terang-terangan. Dibandingkan dengan skala aktifitas yang terjadi, berbagai upaya penegakan hukum yang telah dilakukan nyaris tidak memberi efek jera sama sekali. Yang kemudian berkembang di lapangan adalah timbulnya rasa “saling pengertian yang sangat mendalam” antara pemodal, pekerja/buruh, pemilik sawmill, penyedia angkutan, petugas kehutanan, aparat kepolisian, aparat militer, dan bahkan petugas DLLAJR. Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu menjamurnya kegiatan pembalakan liar.

kitapun dikejutkan dengan penemuan puluhan sawmill illegal yang masih bebas beroperasi di Propinsi Jambi. Seperti diberitakan Harian Jambi Ekspres (14 Desember 2007) bahwa setidaknya ada 46 sawmill illegal yang tersebar di 3 Kabupaten di Propinsi Jambi. Sawmil-sawmil yang beroperasi tanpa ijin yang kayunya dipasok dari Hutan Produksi di Kabupaten Sarolangun sebanyak 30 Unit Usaha. Pemilik sawmill di Kabupaten Sarolangun ini menggunakan bandsaw dan beroperasi disekitar hutan Taman Nasional dan kayu-kayu didistribusikan melalui sungai Batanghari. Bahkan masih ada 3 usaha moulding (industri kayu berkapasitas besar) sampai sekarang masih beroperasi di Propinsi ini. Sementara 30 Unit Usaha sawmill tanpa ijin berada di Kabupaten Muara Jambi dan 6 Unit Usaha sawmill tanpa ijin berada di Kabupaten Batanghari. Modus operasi mereka berpindah-pindah hingga menyulitkan upaya pemberantasan kegiatan pembalakan liar. Justru yang banyak bermain dalam pembalakan liar justru oknum, Polisi dan sebagian kecil oknum TNI. Mereka bukan saja melindungi kegiatan pembalakan liar justru merekalah menjadi pelaku langsung (Jambi Ekspres, 14 Desember 2007).


Belum selesai permasalah sawmill illegal, kembali kita dikejutkan dengan penemuan gelondongan kayu sebanyak 3.619 batang yang setara dengan 1.240 m³ di Petaling Kabupaten Muara Jambi diduga merupakan hasil pembalakan liar (Harian Jambi Ekspres, 18 Desember 2007). Hal ini membuktikan masih terjadi aktivitas pembalakan liar di Jambi.

Sementara kegiatan pembalakan liar terjadi hampir diseluruh kawasan hutan lindung maupun kawasan taman nasional di Propinsi Jambi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pembalakan liar di kawasan TNBD, antara lain :
1. Lemahnya penegakan hukum, baik pengawasan dan kontrol dari pihak penegak

hukum dan pengambil kebijaka
2. Tidak harmonisnya kebijakan pusat dan daerah
3. Kurangnya koordinasi antar instansi terkait
4. Permintaan kayu melebihi kemampuan penyediaan
5. Terbukanya peluang pasar untuk menerima kayu illegal
6. Konflik pemanfaatan lahan
7. Tersedianya kayu-kayu bernilai ekonomis
8. Sumber penghasilan utama dan aktivitas pembalakan sangat menjanjikan hasil yang

mengiurkan dan relatif cepat
9. Krisis ekonomi yang memberi andil kemiskinan dan pengangguran
10. Dukungan akses (jalan darat dan sungai) menuju kawasan TNBD terutama jalan-jalan

logging eks HPH
11. Tidak ada lapangan pekerjaan alternatif pengganti bebalok di desa dan akses dengan

dunia luar
12. Aktivitas bebalok merupakan turun temurun dan keterampilan masyarakat desa tidak ada

sama sekali

Rabu, 19 Maret 2008

TEH HIJAU DAN MANFAATNYA


Akhir-akhir ini bila kita perhatikan mulai banyak produk-produk minuman dalam kemasan yang berisi teh hijau. Sebenarnya apa sih yang menyebab kanteh hijau terkenal bagus untuk kesehatan? Teh (Camellia sinensis) saat ini dibedakan berdasarkan lokasi tumbuhnya. Hal inilah yang menyebabkan dikenalnya beragam teh, seperti: teh Cina, Sri Lanka, Jepang, Indonesia, atau teh Afrika.


Teh hijau, seperti juga teh hitam, berasal dari tumbuhan yang sama. Nama dan wujudnya menjadi berbeda karena proses persiapan yang dijalani berbeda. Teh hijau diproses dengan cara khusus. Setelah dipetik, daun teh akan mengalami pengasapan. Proses ini akan mengeringkan daun teh, namun tidak sampai mengubah warna daun. Kondisi inilah yang menyebabkan air seduhan daun teh tetap terlihat berwarna hijau muda. Proses ini kemudian terbukti dapat mempertahankan berbagai kandungan nutrisi, antara lain zat antioksidan polyphenols pada daun teh. Ingin tahu apa saja kandungan dalam teh hijau yang begitu menyehatkan bagi tubuh?


1. Antioksidan polyphenol.

Para ilmuwan Jepang percaya bahwa antioksidan polyphenol yang terdapat dalam teh hijau adalah bahan sangat bermanfaat bagi kesehatan, yaitu mampu mengurangi risiko penyakit jantung, membunuh sel tumor, dan menghambat pertumbuhan sel kanker paru-paru, kanker usus terutama sel kanker kulit. Zat ini dapat membantu kelancaran proses pencernaan makanan melalui stimulasi peristalsis dan produksi cairan pencernaan.


2. Fluoride.

Fluoride tergolong sebagai mineral yang dapat mencegah pertumbuhan caries pada gigi, mencegah radang gusi, dan gigi berlubang.


3. Mangan.

Kandungan mangan yang terdapat pada teh hijau dapat membantu penguraian gula menjadi energi sehingga membantu menjaga kestabilan kadar gula dalam darah.


4. Kafein.

Kadar kafein yang terkandung dalam teh hijau berbeda dengan kafein yang terkandung dalam kopi. Pada teh hanya terkandung kafein sebanyak 3 - 5%. Jadi jika kita rajin minum teh, maka tubuh dan pikiran akan terasa lebihsegar. Kafein berpengaruh positif pada aktivitas mental, dan dapat memperbaiki proses pencernaan makanan dalam lambung. Pencernaan yang baik akan membakar lemak dalam tubuh lebih efisien. Jika Anda sedang menjalani diet, proses ini membantu usaha untuk mengurangi berat badan. Terlebih lagi jika teh diminum saat perut masih kosong.


5. Tanin.

Hasil penelitian terakhir tentang teh hijau menunjukkan bahwa kandungan senyawa golongan tanin yang terkandung dalam teh hijau mampu mencegah dan mengobati gangguan ginjal. Sementara itu daun teh yang masih basah dapat digunakan sebagai kompres kulit yang terkena gigitan serangga, terbakar sinar matahari, atau sebagai penyegar untuk mata yang lelah. Bagi anda yang ingin teratur menjaga kondisi kesehatan, sangat disarankan agar setidaknya meminum satu cangkir teh hijau, baik panas ataupun dingin setiap hari.