Senin, 24 Maret 2008

Kota Jambi : antara Ingatan dan Ilusi Identitas (Aditya Dipta Anindita dan Dodi Rokhdian)*


* mereka ini temenku yang merupakan warga pendatang dan pemerhati kota (Thank kontribusi tulisannya, biar orang djambi juga tau dan nyadar kalau ....!).

Sebelum keberangkatan kami ke kota Jambi sekitar setahun lalu, ada cerita dari seorang kerabat yang pernah tinggal di kota ini belasan tahun yang lalu. Katanya, Jambi adalah kota terbersih yang pernah dilihatnya. Tinggal kami, untuk membuktikan cerita itu.

Kurang lebih setahun ini, kami mulai mengenali kota Jambi; lika-liku lorong dan simpangnya, musik keras di angkot yang meninggalkan debaran di jantung, pemandangan ribuan burung gereja di atas pasar saat senja juga mungkin kotoran mereka yang jatuh tiba-tiba di dekat kita. Tak ketinggalan jagung bakar dan es tebu di tepi Batang Hari yang lebih terkenal dengan sebutan Ancol, memandang lepas ke arah perahu-perahu dan matahari yang perlahan turun. Romantis, asal tidak mengalihkan pandangan ke bawah, ke tepiah-tepian sungai yang penuh sampah.

Pengalaman dengan sampah bukan hanya di Ancol saja. Turun dari angkot di terminal pasar, lalu berjalan kaki menuju toko buku Gloria, Saimen, Mandala, Tropi, Matahari sampai kembali lagi menunggu angkot di dekat Abadi, paling tidak lima kali kami harus melewati tumpukan sampah, mengambil jarak agar tidak terganggu oleh bau busuk yang dikeluarkannya. Pemandangan pun terganggu. Inikah kota Jambi yang pernah dikenal orang sebagai kota terbersih?

Tiba-tiba terlintas slogan “Jambi Kota Beradat”. Kata ‘beradat’ sendiri bisa dimaknai sebagai memiliki, memegang, atau menjalankan adat. Adat sendiri dalam bahasa Indonesia secara harifiah diartikan sebagai aturan yang telah dilakukan sejak lama, kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai dan berkaitan menjadi satu sistem. Kata ‘adat’ sepertinya memang sering didengungkan di kota ini, terutama dalam seloka Adat bersendi syara, syara bersendi Kitabullah. Betapa damai terasa gambaran kota yang ditawarkan dalam seloka ini. Belum lagi jika kita memahami slogan “Jambi Kota Beradat” sebagai penjabaran dari Jambi kota yang bersih, aman dan tertib. Slogan ini mengisyaratkan bahwa ada upaya perwujudan kota Jambi yang bersih, aman dan tertib. Lalu, dimana harus ditempatkan pengalaman dan pemandangan sampah di Ancol atau pasar dalam slogan kota Jambi yang senantiasa didengungkan itu? Ini belum tentang keamanan dan ketertiban kota ini.

Ada dua hal yang membedakan masing-masing kota, yakni kota dalam tatanan geografis serta kota dalam ingatan dan pengalaman warganya. Tataran pertama menggambarkan kota sebagaimana dalam peta yang menunjukkan batas-batas wilayah serta patokan-patokan fisik seperti bandara, pasar, sungai atau taman PKK. Sementara tataran kedua menggambarkan kota sebagaimana yang dialami oleh warganya seperti aroma jagung bakar di ancol atau bau busuk tumpukan sampah di pasar Angso Duo. Ingatan-ingatan berdasar pengalaman berulang inilah yang sesungguhnya akan terekam sebagai gambaran atau citra atas kota tempat tinggal seseorang.

Ingatan Bersama vs Ilusi Kota
Bisa dibayangkan bila dalam pikiran bawah sadar sesungguhnya kita dipaksa untuk memahami dua pengertian yang berbeda tentang sebuah kota bernama Jambi ini. Pengalaman atas sampah, misalnya, segera berhadapan dengan ingatan atas slogan “Jambi Kota Beradat”. Mana yang nyata?

Michelle de Certeau, pemikir kota aliran Prancis, menyebutkan bahwa pengalaman-pengalaman atas kota yang paling mendasar sesungguhnya adalah milik para pejalan kaki. Merekalah yang setiap harinya membuat cerita atas kota tanpa bisa membacanya. Dan ketika pengalaman-pengalaman dengan sampah tadi berhadapan dengan pemahaman kebersihan kota dalam slogan, akhirnya slogan itu sendiri menjadi seperti ilusi. Antara ada dan tiada. Bahwa sesungguhnya ada identitas yang tengah coba untuk ditanamkan, menyertai bahkan menafikan ingatan-ingatan atas kota yang sesungguhnya.

Manipulasi pembentukan citra kota bersih, aman, dan tertib melalui slogan dalam bahasa de Certeau diistilahkan sebagai strategi, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan terlebih dahulu pendapat yang berbeda, halangan, atau hambatan yang ada di lingkungan di mana kehendak (kuasa) satu kelompok dioperasikan. Tak hanya Jambi sebenarnya, tetapi inilah kenyataan yang dimiliki oleh nyaris setiap propinsi, kota dan kabupaten di tanah air ini. Mungkin kita sempat mencatat slogan-slogan pembangunan lain seperti Bungo Kota Lintas, Bulian Kota Berlian, Bangko Kota Beriman, atau Kerinci kota Sakti. Tapi coba tanyakan kebenarannya pada warga, terutama mereka yang setiap hari berjalan kaki menelusuri kotanya. Apakah memang demikian kota yang mereka punya?

Inilah cara pandang kota dari ketinggian, seperti, mungkin – maaf pak Gubernur – jika memandang tepian Batang Hari dari tebing atas, di area Gubernuran yang sudah pasti terjaga kebersihannya, aman dari gangguan serta tertata rapi. Kami belum pernah, tetapi sepertinya dari atas sana tidak terlihat sampah-sampah yang memenuhi tepian sungai, juga bau busuknya yang beradu dengan aroma jagung yang tengah dibakar. Dan kita, yang membutuhkan ruang-ruang rekreasi dalam kota, akhirnya yang harus berkompromi dengan suasana itu. Kita lantas harus menutup hidung atau memilih tempat yang agak jauh dari tumpukan sampah. Sisi pengalaman yang kontras ini, oleh de Certeau disebut dengan taktik, yakni sebuah tindakan penuh perhitungan yang dilakukan karena ketiadaan tempat-tempat yang layak. Pendeknya, taktik adalah siasat yang dipakai oleh orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.

Pemandangan dari atas akan selalu indah, juga teratur sebagaimana jika kita memandang kota dalam peta. Tapi dari atas pula tidak tercium bau sampah, tidak tampak trotoar yang berlubang, atau kumpulan pemuda yang kadang memaksa meminta uang. Kalau memang demikian, maka timbul pertanyaan: kepada siapa sesungguhnya kota yang bersih, aman dan tertib ini diperuntukkan?

Mempertanyakan Identitas Kota
Membicarakan citra kota akan membawa kita pada wacana identitas kota. Mengutip catatan seorang teman, bahwa identitas bukan sekedar nama atau uraian biografi tetapi juga rangkaian cerita yang membentuk citra dalam diri setiap manusia. Karena itulah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang layak untuk dipaksakan. Bagi sebuah kota, identitas menyimpan pengalaman-pengalaman warga serta proses tumbuh kembang kota sendiri. Misalnya dari bentuk bangunan lama bergaya kolonial, kita bisa menaksir kapan, siapa, dan bagaimana sejarah perkembangan kota. Lalu penamaan-penamaan warga sendiri, misalnya orientasi arah hulu dan hilir menunjukkan betapa sungai memiliki arti penting bagi penduduk sekitarnya. Bagaimana pal seven bisa dibaca sebagai Sipin, atau bagaimana simpang dan lorong menjadi penanda kota.

Inilah mengapa karakteristik sebuah kota tidak bisa digeneralisir dalam pola-pola sentralistik. Setiap kota memilik karakter masing-masing yang terbentuk dari pengalaman sehari-hari warganya. Dan kota, tidak bisa begitu saja direproduksi secara mekanis jika kita tidak ingin kehilangan ingatan-ingatan atas rentetan peristiwa proses tumbuh kembang kota, jika kita tidak ingin kehilangan identitas kota yang sesungguhnya.

Yang kami tidak pernah mengerti, mengapa harus ada sebutan Ancol untuk tepian Batang Hari, Monas untuk tugu yang dikelilingi empat ekor angsa di daerah Kota Baru, Taman Mini untuk area MTQ berupa rumah-rumah adat perwakilan tiap kabupaten, hingga ruas jalan menuju bandara yang diberi nama Soekarno-Hatta. Padahal, Jambi menyimpan mitos perjalanan dua ekor angsa yang kemudian dipercaya sebagai asal muasal kota ini, pantun dan seloka Melayu yang didongengkan oleh nini mamak, ribuan burung gereja di atas pasar saat senja, atau Batang Hari yang alirannya konon terpanjang di pulau Sumatera.
Inilah saatnya memandang kota melalui pemahaman baru, bahwa kota bukanlah mahkluk mati tak bergerak seperti peta. Kota tumbuh dan berkembang seiring dengan pengalaman-pengalaman warganya.

Menyelami kehidupan kota Jambi selama setahun ini, adalah tentang suasana angkutan kota dengan musik hingar bingar yang menghentak jantung penumpang hingga kami harus berteriak kencang kepada kernet jika ingin turun di tempat tujuan. Ingatan tentang Jambi bagi kami, keindahan ketika ribuan burung gereja bertengger di profil-profil bangunan dan di setiap bentangan kabel-kabel listrik saat langit senja merona jingga. Juga alunan musik biduk sayak yang keluar dari salah satu speaker penjual VCD bajakan kaki lima. Bagaimana dengan anda, pemilik kota Sepucuk Jambi Sembilan Lurah?

1 komentar:

inditdijakarta mengatakan...

eh, tulisanku nongol di sini...