Selasa, 25 Maret 2008

Aktor, Mobilitas dan Faktor Pendorong Pembalakan Liar


Perputaran ekonomi desa-desa pebalok secara otomatis akan hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang yang punya kekuatan modal. Dengan uangnya tersebut akhirnya para toke menguatkan pengaruhnya melalui mekanisme yang berimplikasi kepada hubungan-hubungan sosial yang dibangun untuk menguasai pihak-pihak yang secara ekonomi lemah. Salah satunya dengan berperan sebagai patron-patron untuk mengikat para klien secara ekonomi. Implikasi dari ketergantungan itu adalah hutang budi para klien (pebalok) terhadap patron-patron tersebut. Dengan menguasai hajat hidup para klien secara tidak langsung kehidupan sosialpun ditentukan atas kepentingan para patron yang memunculkan sikap-sikap hormat, segan, dan mengamini setiap nasihat dan perintah yang menjadi petronnya (toke). Munculnya toke dan elit desa memicu gerakan masyarakat desa untuk melakukan pembalakan liar.

Pengaruh ekonomi dan sosial yang terpusat pada segelintir toke itu diperkuat oleh status tingkat religiusitas melalui gelar-gelar haji yang disandang para toke di desa. Bertambahnya unsur penguat tersebut berimplikasi tak ada cacat dan tak ada alasan untuk tidak membenarkan setiap pendapat dan perintah para toke. Munculah ke permukaan dan kecenderungan bahwa toke-toke kayu otomatis juga merupakan tokoh masyarakat. Dia menguasai kebijakan desa, menguasai dan dapat mengendalikan aparat pemerintahan desa, dan kalau perlu mereka sanggup merekayasa adat lokal untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya. Kasus didendanya Tim Tata Batas – Biphut Jambi di salah satu desa di Kecamatan Muara Sebo Ulu - Batanghari, dengan satu kerbau dengan alasan tanpa ijin memasuki wilayah desa tersebut, merupakan bukti bahwa kepentingan toke terancam bila batas ditetapkan dan untuk itu adat lokal dipakai untuk menyamarkan kepentingan tersebut.

Tidak saja toke di desa, tetapi masyarakat desa disekitar kawasan hutan, menjadi aktor paling besar perannya dalam kerusakan hutan di seluruh Propinsi Jambi. Begitu juga dengan toke besar yang notabene adalah muara terakhir di desa dalam kegiatan pembalakan kayu. Berikut beberapa aktor yang terlibat dan sangat bertanggungjawab atas musnahnya hutan di Propinsi Jambi, diantaranya :
1) Masyarakat desa, khususnya melakukan pembalakan liar. Masyarakat desa pada umumnya terlibat dalam kegiatan survei, penebangan, dan perakitan. Masyarakat desa yang terlibat dalam kegiatan pembalakan liar ini mulai dari warga biasa yang hanya bekeraja sebagai buruh/pekerja kasar.
2) Para pejabat desa, seperti kepala desa besarta stafnya, anggota BPD sampai pada tokoh masyarakat. Pejabat desa ini akan ikut memanfaatkan hasil kayu ini dalam bentuk Peraturan Desa yang mengatur tentang salah satu sumber anggaran desa berasal dari hasil kayu, dimana setiap 1 potong kayu seharga Rp. 10.000. Semacam legitimasi yang dikeluarkan oleh desa untuk kegiatan pembalakan liar tersebut.
3) Para cukong atau toke, pemilik modal yang membiayai aktivitas pembalakan liar dan yang memperoleh keuntungan besar dari hasil kayu curian. Para cukong/toke ini mulai dari yang kecil sampai pada golongan besar. Untuk toke kecil biasanya berada atau bertempat tinggal didesa atau desa tetangga, sedangkan untuk toke golongan besar biasanya berasal dari Jambi yang memiliki pabrik pengolahan kayu.
4) Pemilik pabrik pengolahan kayu/sawmill sebagai pembeli kayu illegal, sebagian lagi ada juga pemilik sawmill yang menjadi dalang atau toke yang memberi modal dalam aktifitas pembalakan liar. Biasanya para pemilik sawmill mempunyai staff (tangan kanan) yang berasal dari desa.
5) Instansi Pemerintah (khususnya dari Dinas Kehutanan), biasanya pegawai ini terlibat dalam hal memanipulasi pengeluaran dokumen surat angkutan kayu bulat. Tidak saja pegawai rendahan tetapi juga melibatkan Kepala Dinas Kehutanan.

MOBILISASI PEMBALAKAN LIAR
Berbagai akses digunakan dalam mengeluarkan hasil pembalakan liar, diantaranya :
1. Sungai.

Pembalakan liar di Kabupaten Batanghari memanfatkan sungai Serengam yang bermuara di Sungai Tembesi di desa Hajran, lokasi pengambilan berasal dari Sungai Terap, sungai Dangku, sungai Sako Lado dan sungai Bangkai Anjing. Transaksi jual beli berlangsung di Muara sungai Serengam yaitu di desa Hajran. Pembeli selanjutnya mengangkut kayunya dengan memanfaatkan sungai Tembesi atau Tabir yang ditarik dengan pompong menuju Jambi. Untuk bagian utara Kabupaten Batanghari, melalui sungai Kejasung Kecil, sungai Kejasung Besar, sungai Tabir selanjutnya menuju sungai Batanghari menuju Jambi.
2. Jalan darat melalui beberapa alternatif.

Pembalakan liar di wilayah Kabupaten Batanghari juga dilakukan melalui beberapa alternatif, melalui : 1) jalan loging PT. Sawit Desa Makmur. Kegiatan bebalok dilakukan pada musim kemarau yang keluar di desa Hajran. Bisa juga melalui jalan logging eks. PT. Alas Kusuma dan Perkebunan PT. Era Mitra Agro Lestari menuju desa Dusun Baru Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun. Alternatif lain melalui jalan loging PT. Wana Jaya yang berlokasi di sungai Dangku Kecil yang keluar di Sungai Tembesi di desa Olak Besar. Sementara wilayah Kabupetan Tebo, melalui daerah hulu yaitu jalan Haji Gani, mudik sampai ladang Musi di Bernai. Bagian tengah melalui jalan haji Gani, mudik sampai sedodo Benyok. Bagian hilir melalui jalan Sutarjo mudik sampai B. Lambon Pupung dan jalan darat dari desa Tanah Garo.

FAKTOR – FAKTOR PENDORONG KEGIATAN PEMBALAKAN LIAR
Berdasarkan hasil wawancara, investigasi dan analisa dilapangan terdapat beberapa faktor pendorong dari masyarakat untuk melakukan kegiatan pembalakan liar, yiatu :
1. Faktor Ekonomi, yaitu :
a. Kegiatan pembalakan liar sangat cepat menghasilkan uang dan jumlahnya cukup besar jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Padahal berdasarkan analisa bahwa pendapatan yang diterima justru jauh lebih kecil dari apa yang telah diperoleh. Kemudahan yang diperoleh adalah mendapatkan uang kontan sebelum bekerja, karena pebalok mendapatkan suntikan modal dari toke. Dan selama pebalok bekerja, keluarga yang ditinggalkan di desa juga mendapatkan meminjam dari toke yang keseluruhannya merupakan hutang yang nantinya langsung dipotong saat penghitungan hasil dari kegiatan tersebut.
2. Faktor Sosial, yaitu :
a. Keterikatan emosional sebagian warga terhadap hutan, diwujudkan dengan keikutsertaan mereka melakukan illegal loging. Dengan suatu harapan dapat menikmati hasil kayu sebelum terlanjur semuanya habis
b. Karena sering terjadinya interaksi antara satu masyarakat dengan yang lain (makhluk sosial), maka akan termotivasi bagi kelompok lain untuk melakukan kegiatan pembalakan liar.
c. Adanya kecemburuan sosial terhadap salah satu keluarga yang mendapatkan uang banyak dari hasil bebalok
d. Karena pekerjaan dilakukan secara bersama-sama dan berkelompok, maka walaupun pekerjaan secara fisik membutuhkan tenaga yang kuat akan menjadi ringan.
e. Tingginya rasa kebersamaan dan kekompakan antara satu kelompok.
f. Akan terjadi interaksi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga suasana akan menjadi ramai walaupun dalam hutan.
3. Faktor hukum
a. Lemahnya penegakan hukum oleh aparat/instansi terkait
b. Kerlibatan dari pihak atau instansi terkait dalam kegiatan pembalakan liar, seperti adanya pemalsuan surat dokumen pengangkutan kayu dari Dinas Kehutanan
c. Adanya semacam legitimasi atau dukungan dari pemerintahan desa, dalam bentuk Peraturan Desa

Tidak ada komentar: